Hafidh Ravy Pramanda
Radio Volare – LAS! sukses menutup tur tiga kota ‘BABLAS!’ hari Sabtu (21/09) di Segaris Coffee, Sintang. Sama seperti dua titik tur BABLAS! di Sambas dan Ketapang, lokakarya yang berisikan obrolan-obrolan terkait isu iklim khususnya yang terjadi di Kalimantan Barat menjadi pembuka sebelum pertunjukan musik berlangsung. Lokakarya dilakukan dengan menghadirkan pembicara dari Trend Asia, Lingkaran Advokasi & Riset Borneo (Link-AR Borneo) dan Swandiri Inisiatif Sintang.
Penampilan dari LAS! pun dimulai saat malam hari. LAS! membawakan beberapa lagu, baik lagu andalan, maupun lagu-lagu yang biasanya jarang dibawakan di panggung. Hutan Peradaban menjadi lagu pembuka pada malam itu.
Format tur yang menggabungkan antara pertunjukan musik dan diskusi ini berawal dari obrolan liar di bar lokal “Ayam 5000”, Pontianak, sebelum mereka diumumkan masuk dalam kolektif ‘Music Declares Emergency’ tahun ini.
“Embrio awal tur ini dimulai di bulan juli, sebelum kita berangkat ke bali, sebelum kita diumumkan masuk ke Music Declares Emergency, terus kita pengen nih bikin tur lagi, soalnya perpanggungan di Pontianak masih sepi gitu kan, ndak tau tibe-tibe sepi gitu, mungkin menjelang tahun-tahun politik,” ungkap Diaz, drummer dari LAS!
Terakhir kali unit rock asal Pontianak ini menjalani tur ialah di tahun 2021, yaitu tur 6 kota bertajuk Gelora Pantura. Tur Gelora Pantura itu berlangsung pada saat pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) dijalankan berkaitan dengan situasi pandemi Covid-19.
“…cuman ada satu kota yang gagal pada saat itu yaitu Sosok, karena pada saat itu masih PPKM. Berdasarkan data dan geografis di situ, akhirnya kayaknya kita bisa effort 3 kota, tapi agak lebih upgrade, 2.0-nya Gelora Pantura lah, karena pas pandemi kan, dipilihlah 3 kota tadi tuh,” ujar Diaz.
Diaz menyampaikan, selepas mereka pulang dari kegiatan Music Declares Emergency di Bali mereka mulai menyusun lagi konsep yang awalnya bermula dari perbincangan liar di bar. Setelah mereka dipertemukan dengan banyak NGO dan berbagai lintas aktivisme, konsep awal tur yang pada awalnya hanya tur biasa pun mereka coba campurkan dengan diskusi-diskusi yang berkaitan dengan isu-isu lingkungan, seperti yang sudah mereka sampaikan lewat lagu-lagu mereka.
“Terus sepulangnya dari Bali, tanpa banyak basa-basi, kita nentuin tiga kota, kita telpon teman-teman kayak di Sambas, Ketapang, dan Sintang, dan beberapa penyelenggara, pihak vendor juga, ‘uh oke nih’ kayak gitu kan. Otot-otot di daerah nih udah siap, terus kita lampirkan di NGO, kita kontak NGO,” tutur Diaz.
Bob Gloriaus, Vokalis dari LAS! menyampaikan, parameter awal pemilihan tiga titik tur ini karena mereka sudah lama tidak berkunjung dan manggung di sana. Namun setelah mereka berdiskusi dengan Yuyun Indradi, Direktur Eksekutif dari Trend Asia, mereka menemukan benang merah yang menjadikan tur BABLAS! ini bisa berjalan.
“Mungkin karena udah jalannya kali ya, yang tadinya parameter LAS! bikin tur di tiga kota ini karena udah lama dak kesana, tapi begitu ditilik lagi lebih substansial, ternyata itu titik-titik yang sangat-sangat penting untuk disuarakan terkait dengan kerusakan lingkungannya,” ungkap Bob.
Pada saat mereka menyampaikan ide ini kepada Trend Asia, ide ini langsung disambut dengan pembahasan serius yang dilakukan lewat Zoom Meeting. “…Hari ke-empat kita meeting, itu full semua timnya diajak, aku kaget. Ini serius banget kayaknya, mereka udah punya tuh, kayak “kita harus bikin field trip, kebetulan kita juga punya rekanan NGO juga di Pontianak” Aku yang kaget bat, karena disaat itu pun aku belum punya tanggal pasti untuk tur-nya, mereka udah nyiapin deck-nya. Pokoknya aku tahunya cuman ‘Sambas, Ketapang, Sintang’ tanggal aku belum berani kasih,” tutur Bob.
Ketapang Jadi Yang Paling Berkesan
Pada tiap kota yang disambangi LAS! dalam tur mereka tentu mempunyai momen ikoniknya masing-masing. Namun ketika ditanya di mana titik tur yang paling berkesan, Diaz menyampaikan Ketapang jadi yang berkesan, baik dari segi waktu tempuh, maupun momen-momen yang terjadi saat mereka menyambangi kota yang berjarak 12 jam perjalanan dari Pontianak itu.
“Karena dari Selasa (10/09) aku sama Bob udah berangkat dari Pontianak menuju Desa Kualan Hilir, disitu kita menghabiskan 4 hari 3 malam menghabiskan banyak waktu bersama masyarakat adat di sana,” ungkap Diaz.
Selain itu, saat berada di Desa Kualan Hilir, Diaz menyebut satu momen yang bagi mereka terasa magis pada saat mereka melakukan sesi akustik di balai desa. Sesi akustik tersebut mereka buat setelah fasilitator di desa tersebut berbisik kepada Bob tentang warga yang ingin mendengarkan lagu yang sudah mereka nyanyikan sebelumnya pada saat tapping live session untuk kebutuhan konten yang mereka buat.
“Waktu itu siangnya pas field trip ke lokasi deforestasi itu kita bikin konten live session sederhana di salah satu situs hutan adat nya mereka, pas malamnya ga ada rencana untuk main, malam itu sebenarnya cuma ramah tamah jak. cuma tiba-tiba fasilitator di desa itu bisikin aku “Warga pengen denger lagu yang tadi,”. Dan di malam itu aku ga punya pretensi apapun selain menghibur mereka karena setelah jalan ke lokasi deforestasi itu aku mulai tergambarkan betapa pedihnya kehidupan mereka,” tutur Bob.
Di sesi akustik tersebut mereka membawakan lagu berjudul ‘Hutan Peradaban’ yang di dalamnya terdapat sisipan lagu folk lokal masyarakat adat Dayak.
“Pas kita bawain lagu hutan peradaban kan ada potongan lagu folk nya mereka lah yang siapa penciptanya kita ga tau, judulnya Leleng, tiba-tiba satu dusun tuh nyanyi dan itu merinding sekali. Kita pakai gitar akustik, dan aku juga pinjam perkusi punya orang balai di situ, dan momen magis itu tidak kalah rasanya dengan momen dinyanyiin seribu orang dua ribu orang di Pesta Pora nih,” kata Diaz.
Bob menambahkan, di malam itu dirinya sudah lama tidak merasakan keinginan bernyanyi untuk sekadar menghibur saja. Kata Bob, dirinya memilih untuk tidak juga berorasi karena ia juga turut merasakan rasa ‘pusing’ dengan perjuangan masyarakat adat di sana.
“..kayak di ‘Borneo is Calling’ itu kan ada orasi segala macam dak aku bacakan. Karena apa, aku tahu mereka udah pusing dengan perjuangan mereka, sebenarnya bisa-bisa aja aku mau kasih orasi gitu kan, tapi aku memilih untuk nyanyi aja dengan dasar biar mereka terhibur aja gitu. Dan ternyata pas aku bimbing sedikit mereka nyanyi men, padahal ‘Hutan Peradaban’ kan bukan lagu single tapi ternyata itu hidup di ruang hati mereka begitu karena mereka relate dengan apa yang ada di lirik itu,” ujarnya
Sebagai konteks, hutan adat milik masyarakat adat Desa Kualan Hilir yang memiliki luas setara tiga kali negara Singapura dan mempunyai biodiversitas itu ditebang habis dan dijadikan hutan monokultur oleh PT. Mayawana Persada. Sampai saat ini masyarakat adat Desa Kualan Hilir masih memperjuangkan hutan yang seharusnya menjadi hak mereka.
“Kan keanekaragaman hayatinya juga aneh dan itu tuh bisa dilihat dengan mata telanjang yang sebelah kanan hutan adat, sebelah kirinya perkebunan monokultur Akasia yang ironis dan sangat surreal kalau menurut aku antara nyata dan ndak nyata gitu,” ungkap Diaz.
‘Tiny Blue Dot’ Akan Jadi Single Yang Berkaitan Dengan Tur BABLAS!
Saat ditanya soal apakah ada project lanjutan setelah mereka selesai dengan tur ini, mereka menyampaikan bahwa akan ada single baru yang berjudul ‘Tiny Blue Dot’ , lagu yang akan masuk dalam kompilasi Music Declares Emergency Indonesia : Sonic Panic II.
“Lagu itu bercerita tentang banyak keresahan kita tentang konflik tanah dan perampasan-perampasan di masyarakat adat. Salah satu liriknya kayak gini
‘Ribuan Kilo dari tempatmu berada, Hutan Adat meraba-raba haknya.’
Itu tuh bentuk keresahan kami kayak soal kasus kemarin (Revisi UU Pilkada) yang dalam semalam bisa dikebut, seharusnya RUU Masyarakat Adat bisa dikebut juga. Karena udah lama juga di bawah tahun 2015 seharusnya. Kenapa hal-hal yang sangat substansial, yang sangat penting untuk masyarakat adat di Indonesia, yang dari Papua, Mentawai, Kalimantan, Sulawesi nih, kan bisa juga. Barang nih bisa dibikin semalam,” tutur Diaz.
Bob berharap, aktivasi-aktivasi seperti yang mereka lakukan dalam tur BABLAS! bisa dijadikan kebiasaan dalam keseharian kita.
“Kalau itu dijadikan hal yang biasa di keseharian kita, dengan narasi yang sama, itu kan bisa jadi gerakan politik. Sebenarnya tujuan BABLAS ini pelan pelan pengen bikin isu iklim jadi hal yang dibicarakan masyarakat. Karena isu iklim juga bersinggungan langsung dengan masyarakat adat, bersinggungan langsung dengan kehidupan aku dengan kehidupan kau. Harusnya kita bisa melahirkan generasi politik yang baru. Karena isu ini terdengar seperti isu elit, tapi impactnya bisa sampai ke meja makan, bisa ke kasur bahkan,” tutup Bob.