Hafidh Ravy Pramanda
Salah satu bagian dari agenda tur BABLAS! yang digagas oleh LAS! adalah mengunjungi dan mempelajari situs-situs kerusakan alam dan deforestasi di Kalimantan Barat. Kunjungan ke situs-situs ini difasilitasi oleh Trend Asia dan juga Link-AR (Lingkaran Advokasi dan Riset) Borneo, kelompok advokasi dan penelitian lingkungan berbasis Kalimantan Barat.
Pada titik ketiga tur BABLAS! selain LAS! turut hadir pula dua perwakilan musisi kolektif Music Declares Emergency Indonesia, yaitu BSAR dan Poker Mustache dari Bali. Kami memulai perjalanan menuju titik ketiga ini pada Kamis, (19/09) menuju Tayan, Kabupaten Sanggau dengan kurang lebih 2 jam perjalanan darat.
Aktivitas di Tayan dimulai dengan menyusuri sungai untuk melihat tumpukan bauksit PT SMA, sisa penambangan bauksit PT Antam, smelter PT Indonesia Chemical Alumina (Antam), sisa bauksit penambangan PT Kalmin, penambangan bauksit seberang Belungai, pabrik sawit PT SSS, pabrik CPO, dan pabrik CPKO.
Para musisi yang mengikuti agenda susur sungai ini tampak terkejut setelah melihat titik-titik lokasi di atas. Yosi, drummer dari BSAR menyampaikan, mereka pada akhirnya bisa melihat langsung isu kerusakan lingkungan ini yang selama ini mereka lihat di video-video dokumenter yang ada di Youtube.
“Jujur di Bali ga ada yang seperti itu, seburuk-buruknya ya Sampah. Tapi tadi aku nyusurin sungai segitu gedenya ada yang seperti itu di Indonesia dan aku lihat sendiri. Yang aku sayangkan adalah (bagaimana) mereka (warga) bisa hidup di lingkungan seperti itu. Jauh dari kata aman, apalagi nyaman,” ungkap Yosi.
Hal serupa juga disampaikan oleh Alvin, menurut dirinya isu-isu seperti ini harus dipikirkan secara kolaborasi semua aspek masyarakat. Menurut Alvin, musisi juga harus terlibat agar masyarakat bisa membuka mata akan kerusakan lingkungan yang mengancam di depan mata.
“Apalagi kita dari Bali, kita biasa ngelihat yang seperti ini itu referensinya dari dokumenter atau Youtube, sekarang kita bener bener ngelihat langsung. Dengan ada kepulan asap dimana-mana. Isu ini harus dibikin (dipikirkan) secara kolaborasi gitu. Bukan hanya NGO saja yang bekerja, tapi semua aspek masyarakat termasuk musisi juga harus terlibat seperti itu. Kalau aku pribadi mungkin aku bakal bikin lagu satu tentang Kalimantan.” ujar Alvin.
Yobu, manajer dari band BSAR mengaku pada awalnya kagum saat sampai di Pontianak. Ia terkesima dengan trotoar dan penataan kota di sini. Dia bersama ketiga musisi lain pun bersepakat bahwa Pontianak bisa dibilang cukup jauh lebih baik dari Denpasar. Namun setelah berkunjung ke Tayan dia melihat perbedaan yang cukup jauh dari Pontianak.
“Tapi setelah kita lihat sisi lain dari Kalimantan, ga terlalu jauh dari Pontianak sekitar 2 jam perjalanan, ternyata cukup jauh gapnya dari segi pembangunannya, terus juga kesejahteraan rakyatnya, bisa dibilang terlalu jauhlah gap-nya,” ungkap Yobu.
Yobu mengaku bersyukur bisa tinggal di Bali dengan kondisi lingkungan yang jauh lebih bersih dari lokasi susur sungai ini.
“Saya pribadi bersyukur bisa hidup di Bali dengan lingkungan yang bisa dibilang airnya bersih, udaranya juga masih bersih dibandingkan dengan kehidupan di pesisir (Tayan) seperti ini. Tapi mereka ga bisa menikmati hasil sungainya, ga bisa menghirup udara yang segar lagi. Ditambah tadi juga sempet lihat orang-orang yang mandi di pesisir, di situ jujur sedih sih ngelihatnya, ternyata mereka pakai air yang sebenarnya air ini masih layak ga sih untuk dipakai kita juga gak tau, sedangkan mereka pakai untuk mandi, gosok gigi mungkin kumur juga pakai ini, mereka nyuci juga di sini, limbah pembuangan juga,” tutupnya.