Tantangan dan Peluang Studi Lanjut di AS

Leonard Triyono

Dua mahasiswa dari provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) berkisah tentang suka-duka, tantangan dan peluang yang mereka hadapi, baik di kampus maupun di luar “istana gading” itu selagi menempuh jenjang pendidikan tinggi di Amerika Serikat. 

VOA — Dua mahasiswa dari provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) rela meninggalkan sementara keluarga demi bisa menempuh jenjang pendidikan tinggi di Amerika Serikat.

Bukan merupakan rahasia bahwa menempuh pendidikan di luar negeri berarti harus berani menghadapi berbagai tantangan dan rintangan, termasuk kendala bahasa, perbedaan sistem pendidikan, perbedaan cuaca, kebiasaan sosial dan budaya, tekanan keuangan, dan bahkan masalah kesehatan mental. Semua tantangan ini harus dilewati, di samping pengorbanan dengan meninggalkan keluarga, kerabat, sahabat, dan pasangan serta anak bagi yang telah berumah tangga. Pertimbangan soal beragam tantangan ini membuat sebagian orang terpaksa mengurungkan niat menggapai pendidikan di luar negeri, bahkan ketika ada kesempatan.

Kendati demikian, cukup banyak juga mahasiswa Indonesia yang berani menghadapi semua tantangan itu. Di Amerika saja, kini ada sekitar 7.500 mahasiswa Indonesia, yang menurut Departemen Perdagangan AS turun hampir 10 persen dari masa sebelum pandemi COVID-19.

Dua di antara sekian ribu mahasiswa Indonesia di AS itu berasal dari provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), yang mengatakan sangat beruntung secara finansial dan berterima kasih kepada pemerintah Indonesia yang memberikan beasiswa melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Kepada VOA, mereka menegaskan bahwa mereka harus berani menghadapi berbagai potensi tantangan demi pengembangan diri, baik secara pribadi maupun profesi, dan terlebih lagi demi pengabdian yang lebih berdaya guna serta bermakna bagi nusa dan bangsa.

Kedua insan dari NTT ini adalah Christina Mega Putri Komar (biasa disapa “Titien”) asal kota Kefamenanu, Kabupaten Timor Tengah Utara, dan Januar Jemy Tell (akrab disapa Jimmy Tell) dari kota Kupang. Titien, yang adalah seorang pegawai negeri sipil di Badan Keuangan Daerah provinsi NTT di Kupang, akan segera menyelesaikan program Master of Public Policy (magister kebijakan publik) di Northeastern University di Boston, Massachusetts. Sementara Jimmy, lulusan S1 dan S2 pendidikan bahasa Inggris dari Universitas Nusa Cendana, kini menempuh jenjang Ph.D. (S3) di Pennsylvania State University, di State College, Pennsylvania.

Alasan pemilihan universitas

Titien, yang lulusan Institut Pemerintahan Dalam Negeri, mengatakan dia memilih Northeastern University yang berlokasi di pusat kota besar Boston semata-mata karena universitas itu menonjolkan program pendidikan kooperatif (“co-op”) yang mengintegrasikan studi dengan pengalaman profesional (program magang) dengan mitra dan jaringan yang luas di seluruh dunia. Konon, program yang menjadi bagian penting dalam proses pembelajaran ini diklaim sebagai yang terbesar di dunia.

Christina Mega Putri Komar, mahasiswa S2 di Northeastern University, Boston, Massachusetts (dok. pribadi)

“Saya pilih Northeastern University karena universitas itu punya salah satu the best program in the US (program terbaik di AS), namanya cooperative education di mana itu disiapkan untuk melakukan praktik lapangan atau disebut dengan magang secara langsung di organisasi-organisasi publik atau non-public sector,” ungkapnya.

Alasan lain, kata Tietien, universitas berperingkat 44 secara nasional di AS itu menawarkan berbagai mata kuliah ilmu pemerintahan yang sangat relevan dengan kebutuhan lembaga dan daerah di mana ia berasal.

Januar Jemy Tell, mahasiswa S3 di Pennsylvania State University, State College, Pennsylvania (dok. pribadi).

Sementara itu, Jimmy mengaku hanya mengirim lamaran ke satu universitas, Pennsylvania State University.

Dia memilih universitas dengan peringkat 31 di antara universitas negeri dan urutan ke-77 secara keseluruhan (swasta dan negeri) di AS itu karena ada kesamaan antara proposal riset yang diajukannya dengan program yang ditawarkan di universitas itu dan di situ juga ada beberapa ahli dalam literasi ESL (English as a Second Language = Inggris sebagai bahasa kedua), utamanya literasi kritikal untuk anak-anak.

“Karena banyak anak sekarang hanya melihat tulisan, membaca, share (berbagi), tapi tidak bisa secara kritis melihat apa yang ada di dalamnya, apa maksud author (penulis) dengan tulisan itu. Jadi saya senang sekali bisa dapat kampus yang sesuai, profesornya sesuai.”

Tantangan paling berat

Bagi Titien, tantangan paling berat untuk melanjutkan studi di Amerika ialah kenyataan bahwa dia harus meninggalkan suami dan dua anak. Ikatan keluarga yang dipisahkan oleh jarak separuh bola dunia sangat berpotensi mengganggu pembelajaran di tempat yang juga sama sekali baru, dan dengan berbagai hal yang asing pula. Beruntung, setelah selama setahun harus berjuang sendiri, sang suami dan kedua anak bisa menyusulnya di Boston dengan upaya sendiri. Istri Even Saunoah ini juga merasa lega bahwa Boston sangat ramah anak sehingga anak sulungnya bisa meneruskan sekolah kelas 2 di SD Negeri setempat.

Lain halnya dengan Jimmy yang mengatakan bahwa dia sangat beruntung karena dia bisa memboyong istri dan anak karena beasiswa untuk program Ph.D dari LPDP memungkinkan penerimanya membawa istri dan anak.

Tantangan melewati musim dingin

Bagi Titien, Boston merupakan kota pertama di Amerika sekaligus di luar negeri yang pernah dikunjunginya, dan pada kota yang kaya sejarah dan didirikan pada tahun 1630 ini pula dia jatuh cinta.

“Jadi pertama kali datang saya merasa nyaman, karena Boston ini seperti Jogja-nya Indonesia, banyak sekali universitas di Boston, dan juga keadaan di sini membuat mereka menjadi ramah mahasiswa.”

Kampus Northeastern University di Boston, Massachusetts (foto: courtesy).

Boston, Massachusetts termasuk wilayah New England di Amerika timur laut yang dikenal memiliki suhu udara sangat dingin pada musim dingin. Bagi Titien, pengalaman tinggal di daerah dengan empat musim memang sangat berbeda, tapi semuanya bisa dilewati dengan masing-masing kelebihan dan kekurangannya. “Dingin (pada musim dingin), ya memang dingin, tapi bisa disiasati dengan berpakaian tebal dan lebih banyak tinggal di rumah,” ujarnya.

“Ada positif dan negatifnya, positif yaitu saya bisa merasakan Winter Wonderland. Jadi ini seperti negeri dongeng. Semuanya serba putih pada saat bersalju, bahkan setelah salju, kita bisa rasakan situasi ekstrem, bahkan baru minggu lalu saya merasakan Winter itu minus 31 derajat Celcius. Tapi (saya) harus bertahan dengan staying at home, chilling with family, doing assignment (tinggal di rumah, bersantai bersama keluarga, mengerjakan tugas). Itu salah satu yang bisa jadi pelarian.”

Demikian pula bagi Jimmy, yang tidak memiliki gambaran tentang kota bernama State College di Pennsylvania, di mana kampus Pennsylvania State University berada. Dia setuju bahwa musim dingin memang sangat dingin bagi orang Kupang, tetapi dia langsung jatuh cinta dengan kota kecil yang katanya “sangat baik, teratur, bersih dan tertata dengan apik” itu.

“Kalau saya dulu tidak memilih kota, lebih memilih kampus. Jadi mau tidak mau harus ada di kota ini. Jujur, setelah sampai di sini saya jatuh cinta sekali dengan kota ini, bersih, tidak ramai, kota kecil. Dingin, ya dingin sekali kalau berbicara soal dingin. This is very exciting phenomenon (Ini fenomena yang sangat mengasyikkan), dan otomatis saya yakin anak-anak Indonesia pasti suka lihat salju, termasuk saya.”

Adaptasi dengan proses pembelajaran yang berbeda

Perbedaan sistem pendidikan dan proses pembelajaran di AS yang berbeda dengan di Indonesia merupakan tantangan, tetapi baik Jimmy, maupun Titien, melihatnya sebagai peluang untuk belajar menyesuaikan diri, memahami dan beradaptasi dengan metode dan kebiasaan baru, dan mengadopsi hal-hal yang baik untuk dibawa pulang kelak ke Indonesia.

“Tantangan paling utama yang saya rasakan adalah ketika pertama kali datang di semester 1, 2021. Itu pertama kali merasakan studi di luar negeri. Jadi, bagaimana saya harus menyesuaikan diri, beradaptasi dengan sistem pendidikan di sini yang sangat fast pace (serba cepat), dan juga sangat detail. Kita harus mempersiapkan diri dengan baik sebelum perkuliahan dan berdiskusi, harus membiasakan diri membaca, membiasakan diri untuk berbicara. Tapi as time goes by (seiring dengan berjalannya waktu), kalian (calon mahasiswa) akan terbiasa kalau sudah menjalaninya seperti saya,” ujar Titien.

Tantangan kedua, menurut Titien, adalah sistem dan ilmu pemerintahan yang sangat berbeda dari ilmu yang didapatnya di Institut Pemerintahan Dalam Negeri di Indonesia. “Saya harus belajar lagi tentang sistem pemerintahan Amerika. Ini merupakan tantangan, tapi semua bisa diselesaikan dengan baik, bisa ditanggulangi.”

Bagi Jimmy, tantangan pertama adalah kultur. Dia mengatakan bahwa waktu pertama kali datang maupun seiring berjalannya waktu studi, dia harus bisa lebih independen. “Kalau di Kupang itu sistem kekeluargaan kita, nilai sosial kita, kedekatan kita akan kuat sekali. Jadi setiap kita bisa bertemu teman, setiap hari kita bisa ngobrol. Kalau di sini teman-teman serba independen. Kita harus melakukan semuanya sendiri dan teman-teman juga pasti sibuk dengan aktifitas mereka, riset mereka,” tambahnya.

Tantangan lain, menurut Jimmy, adalah bahasa. “Bahasanya bukan bahasa Inggris native speaker (penutur asli), tapi di sini teman-teman di kelas itu dari berbagai negara, jadi aksen bahasa Inggrisnya susah dimengerti. Ketika dosen berbicara, teman-teman native speaker berbicara kita bisa mengerti, tapi ketika teman-teman dari negara lain itu aksen mereka tidak bisa saya mengerti.”

Profesor layaknya seperti teman

Mengenai dosen, Titien berpendapat bahwa “mereka itu profesor tapi bersikap layaknya teman.”

“Ketika pertama kali masuk kelas di kampus, teman-teman itu seperti strangers, tapi profesor itu benar-benar seperti friends. Mereka sudah punya etika tersendiri untuk bagaimana menyapa international students dan juga native speakers karena mereka itu saya rasa sudah diajarkan bagaimana memperlakukan mahasiswa internasional,” tukasnya.

Hal lain yang menarik, menurut Titien, adalah semua profesor memiliki jam kerja yang jelas, dan mereka selalu bersedia menerima mahasiswa yang ingin menanyakan apapun, misalnya topik yang tidak dipahami, maupun berkonsultasi mengenai masalah-masalah yang menyangkut profesi maupun pribadi. Jam konsultasi ini tersedia demi kelancaran dan kenyamanan studi serta kesehatan fisik dan mental mahasiswa. “Independen, betul, tapi ketika kita butuh seseorang yang harus membantu, nah profesor itu benar-benar sangat membantu dengan office hours mereka, dengan pendekatan mereka terhadap International students,” tambah Titien.

Program magang yang relevan

Di Amerika, magang dianggap sangat penting karena program ini memberikan kesempatan berharga kepada mahasiswa untuk mempraktikkan ilmu yang didapat dari bangku kuliah, dan terlebih lagi untuk belajar di lingkungan kerja nyata dengan para profesional di bidang mereka sehingga mahasiswa mampu mengembangkan kompetensi, keterampilan, dan mengenali karakteristik kerja secara nyata.

Kesempatan itu pula yang dialami oleh Titien untuk mengikuti program co-op di student center di mana dia diberi kewenangan untuk mengawasi lebih dari 20 staf serta mengelola administrasinya, termasuk pengaturan jadwal kerja, penugasan kerja lembur, dan penggajian. Semuanya merupakan pengalaman luar biasa yang akan dapat diterapkan sekembalinya ke Indonesia. Program ini juga memberinya kesempatan mengikuti konferensi internasional yang dihadiri oleh para anggota dari Student Center di seluruh New England dan juga dari Inggris dan Irlandia.

Christina Mega Putri Komar bersama kolega di tempat magang (dok. pribadi).

Titien merasa gembira karena proyek-proyek akhir yang mesti diselesaikan juga bersifat langsung menyentuh isu-isu praktis, bukan di awang-awang. Misalnya, salah satu proyek akhir itu adalah presentasi mengenai Taman Nasional Komodo yang menjadi tujuan wisata utama di Indonesia, dan yang pengembangannya tidak mengesampingkan masyarakat adat setempat atau Ata Modo, sebuah kebijakan yang diakui oleh sang profesor telah membuka matanya.

Untuk program doktoral, Jimmy mengklaim bahwa semua tugas bacaan yang diberikan oleh profesor “sangat bagus, sangat relevan, sangat cocok dengan mata kuliah, sangat bisa ditarik ke berbagai konteks.” Dalam diskusi, katanya, mahasiswa diberi kebebasan untuk melihat teori, konsep yang ada dalam bacaan dan dibahas dengan menggunakan konteks Indonesia yang relevan.

“Sangat melegakan sekaligus menyenangkan. Jadi kita melihat teori dan juga melihat relevansinya dengan apa yang ada di Indonesia. Lalu, profesor-profesornya sangat luar biasa. Saya rasa waktu saya pulang saya harus memakai style (gaya) mengajar mereka gaya pendekatan ke mahasiswa. Mereka baik sekali, betul-betul friendly dan khusus untuk riset, profesor memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada saya untuk mengeksplorasi.”

Pembelajaran yang inklusif

Hal lain yang menonjol, menurut Jimmy, adalah pendidikan yang bersifat inklusif. “Di sini suara dari berbagai kalangan itu didengarkan, misalnya suara mereka yang berkebutuhan khusus itu diakomodasi, atau suara-suara orang asli Amerika diakomodasi. Kalau hal ini bisa diperkenalkan di Indonesia keren. Jadi pendidikan bukan sekedar membuat orang pintar, tapi pendidikan juga mengakomodir suara-suara minoritas,” katanya.

Secara umum, baik Titien maupun Jimmy merasa bahwa manajemen perkuliahan itu sangat bagus. “Sejak awal semester itu sudah dipersiapkan silabus, modul bacaan yang sangat komprehensif dari tanggal pertama sampai tanggal terakhir, sehingga mahasiswa sudah mengetahui dan menyiapkan bahan yang hendak dibahas di kelas,” ujar Titien.

Dia menandaskan, “Perhatian mereka tentang mental health (kesehatan mental) itu sangat bagus. Jadi walaupun dengan berbagai macam tugas yang sangat banyak, tapi perhatian tentang mental health sangat bagus. Mereka mempersiapkan 24 jam healthcare (perawatan kesehatan) di kampus, 24 jam ketersediaan polisi, 24 jam fasilitas seperti perpustakaan atau ruang terbuka, sangat bagus, sangat impresif.”

Hal yang sama dialami oleh Jimmy. Dia menambahkan profesor sangat cepat dalam menanggapi setiap pertanyaan dan keprihatinan. Mereka selalu menjawab email secara langsung. Selain itu, “silabusnya jelas, tiap minggu apa yang harus dilakukan, tugas-tugasnya apa, penilaiannya seperti apa, berapa kreditnya,” kata Jimmy, seraya menambahkan, “Kalau kita ingin mendapat nilai 100 harus membuat apa, jadi semuanya jelas dan objektif, tidak ada penilaian-penilaian subjektif lagi. Mereka membuka kesempatan bagi kita sebesar-besarnya untuk mengekspresikan apa yang dari Indonesia. Mental health sangat mereka hargai.”

Jimmy berkesan bahwa secara umum orang Amerika “respek sekali dengan siapapun dan dari mana pun, dan mereka menghormati sekali setiap pendapat.” Sementara Titien menegaskan, “orang Amerika pada umumnya memang tidak mudah membuka diri, tetapi begitu kita memulai, mereka sangat ramah, menyambut baik, profesional, disiplin, pekerja keras, dan taat aturan.” [lt/em]