Tanggapan Penerima Beasiswa LPDP atas Seruan Pulang ke Tanah Air

Leonard Triyono

Bagaimana reaksi para penerima beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) terhadap imbauan Presiden Joko Widodo agar mereka kembali ke tanah air setelah menyelesaikan studi di luar negeri? VOA berbicara dengan tiga di antara mereka dan berikut laporannya.

WASHINGTON, DC (VOA) — 

Presiden Indonesia Joko Widodo mengimbau para penerima beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) untuk kembali ke tanah air setelah menyelesaikan studi di luar negeri. Imbauan itu disampaikan dalam acara Festival LPDP 2023 di Jakarta pada awal bulan Agustus lalu.

Menanggapi pertanyaan VOA, seorang mantan penerima beasiswa LPDP dan dua orang lainnya yang kini sedang menjalani studi lanjut di Amerika bereaksi positif dan mendukung seruan Presiden Republik Indonesia agar penerima beasiswa LPDP kembali ke tanah air setelah menyelesaikan studi di manca negara.

Mereka adalah Abraham Soyem yang telah menyelesaikan gelar S2 di George Washington University yang kini telah kembali di Indonesia; Ignatia Elvi Manek, mahasiswa pascasarjana jurusan Global Health Policy, juga di George Washington University di Washington, D.C; dan Alfath Satria Negara Syaban yang kini menempuh program Ph.D. bidang urban planning (perencanaan wilayah dan kota) di University of Alabama.

Ketiganya mengatakan setuju agar penerima beasiswa pulang, bahkan jika gaji dan fasilitas yang ditawarkan di tanah air jauh berada di bawah standar yang bisa diperoleh di luar negeri. Menurut mereka, pulang adalah komitmen dan berkontribusi kepada pembangunan negara adalah kewajiban yang pantas dan selayaknya dilakukan, terutama setelah negara membayar biaya studi mereka yang tidak murah.

Kepada VOA, Abraham Soyem yang berasal dari Kabupaten Kepulauan Aru, Provinsi Maluku dan kini telah kembali ke Indonesia mengatakan agak kecewa dengan teman-teman yang memutuskan untuk tetap tinggal di Amerika.

“Kita ini harus tahu diri. Negara sudah mengeluarkan miliaran rupiah untuk sesuatu yang kita impikan sejak dulu,” tuturnya.

Peraih gelar Master of Business Administration (MBA) ini mengaku tidak berhak untuk berkomentar tentang orang lain, tetapi dia mencontohkan dirinya sendiri bahwa impiannya untuk menggondol S2 Amerika itu memang dengan kerja keras. Namun, menurutnya cita-cita itu bisa digapai berkat bantuan keuangan dari negara, dan oleh karenanya dia merasa harus membalas kebaikan negara. Bahkan, ujarnya, jika negara tidak menyediakan beasiswa pun dia merasa harus melakukan sesuatu untuknya.

Abraham Soyem (dok. pribadi)

“Kita ini sudah dari sejak SD pakai seragam merah putih, sudah hormat bendera kita, sudah dapat freedom (kebebasan) dan lain-lain. Itu tugas kita untuk melakukan sesuatu yang lebih baik untuk negara ini. Itu saja. Nanti, kalau ada ekstranya, dan negara mau memperhatikan, maka bukan masalah. Yang penting, pertama kita harus melakukan sesuatu untuk negara,” imbuhnya.

Abraham mengatakan Indonesia adalah negara yang besar dengan demografi dan geografi beragam serta jumlah populasi yang besar dari 38 provinsi dengan kekayaan alam yang melimpah. Sebagai warga negara, katanya, “kita jangan harapkan orang luar datang untuk membimbing-bimbing. Semua dari diri kita sendiri saja untuk membangun Indonesia.”

“Jadi, kalau sudah dikasih, negara sudah membiayai, negara sudah memanjakan dengan sekian miliar (Rupiah) untuk menggapai mimpi yang kita targetkan, ya sudah, setelah dapat itu, kembali dong untuk negara,” tukasnya.

Abraham mengatakan bisa memahami mereka yang tergoda dan terpikat dengan tawaran yang lebih menarik dengan gaji besar, yang secara signifikan berbeda jauh dari potensi gaji di tanah air. Namun, dia setuju dengan Presiden Joko Widodo dan mendukung imbauannya.

“Saya tidak pungkiri itu. Saya harus mengakui itu, tapi lagi-lagi (secara pribadi) saya memang selalu bekerja pakai hati. Kalau masalah gaji, ya kita ini manusia, kita pasti memilih yang lebih gede. Tapi, lagi-lagi, kalau kita memilih yang lebih gede, ya kita pasti bertahan di Amerika. Terus siapa yang membangun negara ini kalau bukan kita? Kita kan future leader (pemimpin masa depan), berarti tugas kita harus bikin negara ini lebih bagus dari sisi gaji dan sebagainya. Gak ada pilihan lain. Harus pulang, bangun negara. Sekarang adalah waktunya kembali karena tidak ada orang lain yang akan memajukan negara kita, tidak ada orang lain yang bisa mengubah sistem negara kita atau membangun negara kita kecuali kita sendiri,” tandas Abraham.

Pendapat senada disampaikan oleh Ignatia Elvi Manek yang kini kuliah pada tahun kedua untuk gelar Master of Global Health Policy di George Washington University di Washington, D.C. Elvi, yang berasal dari Atambua, Nusa Tenggara Timur, mengaku terus terang mendukung imbauan presiden kepada penerima beasiswa LPDP agar mereka pulang setelah menyelesaikan studi mereka di luar negeri.

“Saya sendiri secara pribadi sangat sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Bapak Presiden. Di sini saya melihat Bapak Presiden bukan cuma sebagai presiden, tetapi juga sebagai seorang ayah yang ingin anak-anaknya pulang untuk berkontribusi,” ujarnya.

Ignatia Elvi Manek berpose di kampus George Washington University, Washington, DC.

Elvi menambahkan, “Di situ juga perlu kita tandai bahwa ketika pulang, seorang awardee (penerima) beasiswa LPDP itu yang diminta bukan hanya pencapaian akademis, tetapi (juga) pengalaman-pengalaman dan segala hal yang bersifat empiris yang didapatkan dari negara tempat belajar untuk bisa dibawa pulang ke Indonesia.”

Ia melanjutkan, “Terutama karena persaingan global yang sangat ketat saat ini, kita perlu menjadi generasi yang sangat adaptif, terutama untuk bersaing secara global. Kalau saya sendiri di jurusan Global Health Policy, negara ini (AS, redaksi) beradaptasi dengan sangat cepat. Saya rasa ini adalah hal yang sangat baik untuk kita semua pulang berkontribusi, tetapi jangan dengan tangan kosong.”

Elvi mengakui bahwa perkembangan dan perubahan di Amerika, termasuk yang terkait dengan kebijakan-kebijakan global untuk kesehatan masyarakat, berjalan sangat cepat dan hal itu berbeda dengan keadaan di daerah asalnya atau mungkin di berbagai wilayah lain di Indonesia.

“Saya anak daerah yang dulunya S1 di Provinsi Nusa Tenggara Timur, di Universitas Nusa Cendana yang sangat, sangat saya banggakan, tetapi perlu saya akui bahwa perubahan di sini itu sangat 180 derajat berbeda, di mana kita diajarkan untuk berpikir kritis, di mana kita diajarkan untuk selalu beradaptasi secara global,” akunya.

Kepada mereka yang beraspirasi menempuh studi lanjut dengan beasiswa LPDP, Elvi mengatakan bahwa mereka perlu “meningkatkan keinginan dan kemauan untuk berkontribusi dan juga untuk berkembang, dengan secara terbuka menyerap apapun yang perlu dipelajari di negara orang untuk nantinya bisa diterapkan atau disesuaikan dengan kebutuhan negara kita, terutama di wilayah kita masing-masing. Kalau saya, nanti di Atambua Nusa Tenggara Timur.”

“Dan untuk awardee yang sekarang saat ini sedang menjalani perkuliahan seperti saya, jangan menyerah, karena ini bukan hal yang mudah, terutama untuk membuat suatu perubahan itu tidak bisa secara instan. Tetapi, kita ini adalah bibit-bibit yang sangat diharapkan Indonesia untuk kembali dan berkontribusi dan berubah dan beradaptasi secara global dan juga bersaing secara global,” katanya.

Secara pribadi, Elvi bisa mengerti pemikiran masing-masing penerima beasiswa, yang dengan alasan masing-masing pula memutuskan untuk tetap tinggal di Amerika karena mendapatkan kesempatan yang dianggap lebih baik atau faktor-faktor lain yang mempengaruhi keputusan tersebut.

“Tidak selamanya itu berupa materi, secara finansial, tetapi ada juga yang akhirnya aspirasi atau pendapat mereka itu tidak diterima sehingga mereka kesulitan untuk kembali berkontribusi.”

Elvi berharap jika ada sebagian kecil di antara penerima beasiswa yang tidak pulang, maka hal itu juga bisa menjadi salah satu pembelajaran bagi pemerintah dan bagi program-program yang ada di Indonesia untuk memikat dan membuat awardee berkeinginan untuk berkontribusi.

“Ini juga menjadi bahan pembelajaran tidak hanya untuk awardee, tetapi juga untuk penyedia-penyedia lapangan pekerjaan di negara kita sendiri untuk berkembang, untuk menyerap orang-orang ini, sehingga kapasitas dan kompetensi yang sudah didapatkan di luar negeri tidak hanya terbuang sia-sia karena pada saat mereka pulang mereka juga pasti akan mengharapkan sesuatu yang bisa mereka berikan.”

Namun, Elvi menyatakan tetap mendukung mereka yang berada dan bekerja di luar negeri. Ia berharap keputusan itu hanya bersifat sementara, untuk mendapatkan kompetensi dan meningkatkan kapasitas, dan memperluas networking. “Ketika kita bekerja untuk sementara di sini, diharapkan untuk suatu saat jika memang hati ini tergerak untuk kembali ke Indonesia dengan membawa networking dan semua kapasitas dan kompetensi yang telah dipelajari untuk dikembangkan di Indonesia,” pungkasnya.

Sementara, Alfath Satriya Negara Syaban, yang berasal dari Ternate, Maluku Utara, kini menyelesaikan jenjang doktoral (Ph.D.) pada tahun kedua untuk studi perencanaan wilayah di Jurusan Geografi, University of Alabama di Tuscaloosa, Alabama. Dosen di Politeknik Transportasi Darat Indonesia-Sekolah Tinggi Transportasi Darat (PTDI-STTD) yang merupakan perguruan tinggi kedinasan di bawah Departemen Perhubungan ini mengatakan setuju dengan imbauan presiden. “Itu sebenarnya sangat menggelitik teman-teman awardee LPDP, khususnya yang ada di Amerika Serikat, karena setiap tahun pasti akan ada isu seperti ini,” ujarnya seraya menambahkan bahwa “dari sekian persen yang belajar di Amerika Serikat atau yang ke luar negeri itu sebenarnya sebagian kecil saja orang-orang ini yang tidak pulang.”

Alfath Satria Negara Syaban berpose di kampus University of Alabama, Tuscaloosa, Alabama.

Alfath menambahkan, “Saya sebenarnya secara pribadi setuju sama imbauan Presiden maupun Menteri Keuangan, Ibu Sri Mulyani, karena di awal kita itu sudah membuat statement dan kontrak kepada LPDP dan Pemerintah Indonesia bahwa apapun keadaan kita, apapun yang kita dapatkan di luar negeri itu kita wajib kembali.”

Mengutip pernyataan dari pengelola LPDP, Alfath menambahkan bahwa jika kemudian penerima beasiswa kembali lagi ke Amerika Serikat ataupun ke negara lain, itu tidak masalah karena “yang penting kalian balik saja dulu, entah kalian mau berkontribusi seperti apa.” Dia mengakui bahwa kontribusi untuk negara salah satunya dengan bisa bekerja di luar negeri, tapi, katanya, “intinya kan balik dulu seperti itu.” Alfath menyayangkan bahwa kemudian ada beberapa oknum yang memanfaatkan pernyataan di atas.

Menurut Alfath, ada juga penerima beasiswa yang meragukan untuk mendapat pekerjaan setelah pulang ke tanah air.

“Ini kan sebenarnya logika yang nggak bisa diterima kalau menurut saya pribadi karena kalian itu sudah dikasih bekal, kalian itu sudah bisa survive di negara orang, masak kalian nggak bisa survive di negara sendiri? Ini kan secara logika nggak masuk akal. Otomatis sebenarnya kalian tidak boleh terlalu berharap kepada pemerintah dengan mengatakan bahwa kita ke sana mau kerja apa ya, kalian ciptakan lapangan pekerjaan. Kalau nggak, kalian cari pekerjaan. Jangan terlalu manja, sudah dikasih beasiswa terus kalian mau juga langsung disuapi,” tukasnya.

Menurut Alfath, yang disampaikan Presiden Jokowi itu terutama mungkin sebagai pengingat lagi kepada para awardee yang mungkin sudah terlanjur membuat kontrak dengan perusahaan ataupun dengan tempat bekerja saat ini untuk bisa memikirkan kembali tentang apa kontribusi mereka untuk Indonesia.

“Negara sudah banyak sekali mengeluarkan biaya untuk kalian. Satu orang itu bisa bermiliar-miliar rupiah,” ujarnya.

Bagaimanapun, Alfath juga mendukung penerima beasiswa LPDP yang tidak langsung pulang setelah menyelesaikan studi dan memanfaatkan peluang untuk bekerja atau magang sebagai bagian dari program opsi pelatihan praktis (Optional Practical Training/OPT), yakni kesempatan bekerja sementara sesuai bidang studi di Amerika. Menurutnya, kesempatan ini sangat baik karena memberikan pelatihan praktis berbayar untuk menerapkan materi yang dipelajari di bangku kuliah.

VOA berusaha menghubungi mantan penerima beasiswa LPDP yang memutuskan tidak pulang, tetapi dengan berbagai alasan, mereka merasa tidak nyaman untuk memberikan tanggapan untuk dimasukkan dalam tulisan ini. [lt/ka]