Ruang Film: Gladiator II, Sekuel Setelah 24 Tahun

Walau tidak banyak diulas media arus utama, Sabtu ini akan digelar pertunjukan (ya, lebih cocok disebut pertunjukan daripada pertandingan) tinju antara Jake Paul dan Mike Tyson. Setelah sempat tertunda selama setahun, dikarenakan Mike Tyson terserang tukak lambung, akhirnya jadi juga digelar. Dan ditayangkan pula di Netflix. Untuk mempromosikan acara tersebut, Netflix merilis dokumenter 3 episode sebagai pemanasan, yang melihat secara mendalam latar belakang masing-masing petinju.

Panji juga berapi-api menceritakan kekagumannya terhadap karya Damien Chazelle, “Babylon”. Hal yang wajar, karena Panji adalah fans Damien semenjak La La Land. “Sex, drugs and jazz” begitu Panji menggambarkan “Babylon” yang banyak mendapatkan kritikan pedas saat baru dirilis. Sebuah film yang tidak ramah anak, namun niscaya akan memperkaya literasi film Bujang Dare. Demikian Panji berusaha meyakinkan Jaka akan “Babylon”.

Selanjutnya, Gladiator II. Rilis 24 tahun setelah yang pertama. Tiap kali akan menonton sebuah sekuel dari film yang sudah dirilis lebih dari dua dekade yang lalu, pertanyaan yang sama selalu bermain di kepala. Apakah kita benar-benar membutuhkan sekuel ini?

Apakah film klasik yang kita tonton 20 tahunan yang lalu itu, perlu dibikinkan sekuel? Dan pengalaman kerap mengajarkan kita, bahwa jawabannya adalah: tidak. Unnecessary sequel will keep happening whether we want it or not.

Dari premis, film ini menawarkan hal yang sama. Perjalanan hidup seorang protagonis yang dibungkus dendam. Dari tawanan perang menuju koliseum. Dengan twist ala-ala Game of Thrones.

Setting Gladiator II dikemas epik dengan skala yang sangat masif. Kota Roma terlihat hidup dengan segala permasalahannya. Penggambaran permainan gladiator cukup akurat (koliseum benar-benar pernah diisi penuh dengan air laut untuk pertempuran naval, so it’s historically accurate) walau tentu menambahkan beberapa bumbu dramatis. Denzel Washington mencuri perhatian tiap kali muncul di frame. Tanpanya, film ini akan kehilangan makna.

Yang mengganggu? Editing. Beberapa scenes terasa janggal, perpindahan adegan ke adegan terasa tidak mulus. Apakah bagian yang dipotong? Sepertinya.

“Dari Skenario Ke Stereo, #RuangFilm di Volare Radio.”