Ilmu pangan atau food science menjadi salah satu bidang yang diminati diaspora Indonesia di AS. Walau aplikasinya sudah sangat beragam, masih banyak orang yang belum mengerti apa dan bagaimana bidang yang satu ini.
WASHINGTON, D.C. (VOA) — Levina Soetyono adalah mahasiswi S2 jurusan ilmu pangan di University of Massachusetts Amherst. Ia juga meraih gelar S1nya di jurusan yang sama dari California State University di Northridge, California. Sebelum mengenal dunia ilmu pangan, Levina sempat mengambil jurusan nutrisi saat kuliah S1.
“Pada tahun ke-3 saya menyadari kalau saya bukan yang mau duduk di klinik, memberi penjelasan kepada orang lain kalau mereka harus makan-nya A-B-C, kayak seperti dokter. Saya lebih minat ke pembuatan makanannya sendiri,” jelasnya.
Di bidang ilmu pangan, Levina banyak mempelajari tentang industri dari beragam makanan, seperti camilan yang biasa ditemui di supermarket.
“Kita belajar cara menganalisa kuliatas makanan tersebut, sistem-sistem (pengemasannya), sistem-sistem cara pembuatannya di pabrik, sampai kayak nutrisinya juga, dan ada juga aspek mikrobiologinya di makanan tersebut,” tambahnya.
Tidak Melulu Jadi Ilmuwan
Menurut Levina, mendalami bidang ilmu pangan tidak melulu harus menjadi ilmuwan atau peneliti yang bekerja di laboratorium. Levina sendiri pernah bekerja di bagian pengendalian mutu pangan. Pada waktu itu ia bekerja untuk sebuah pabrik yang memproduksi kacang-kacang panggang yang bisa dibeli dalam jumlah besar.
“Karena kacang-kacangnya harus dimasukkan ke banyak supermarket jadi ada banyak dokumen yang harus diaudit. Cukup menarik sekali karena kita belajar juga dari kayak raw material-nya kita harus tahu. Barangnya datang ke pabrik dalam kondisi seperti apa microbiology-nya? Apakah masih save to consume? Terus country of origin-nya segala macam,” cerita Levina.
Kedepannya, Levina berencana untuk menggunakan ilmunya dan terjun ke bagian penelitian dan pengembangan produk makanan.
“Kita lihat di market sekarang ada banyak produk makanan baru yang keren-keren, mulai dari segi rasa, potato chip yang baru. Nah, itu semua di belakangnya ada food scientist yang memformulasikan bumbu apa, racikan apa yang baru, cara membuat misalnya, potato chips semakin lebih crispy,” jelasnya.
Apa Pekerjaan Ilmu Pangan?
Menurut Dimyati Yusuf, direktur regional Asia Pasifik untuk bagian penjaminan mutu dan kepatuhan perusahaan Johnson and Johnson, para ahli teknologi pangan, khususnya yang memiliki jiwa bisnis, dapat membantu usaha mikro kecil menengah atau UMKM di Indonesia.
“Jadi membantu di sini juga bisa mengenalkan juga teknologi dasar di UMKM. Misalnya bagaimana sih cara pengemasan, vakum suatu makanan, sehingga bisa bertahan lebih lama, kemasan apa yang cocok digunakan untuk vakum seperti ini, alatnya yang paling sederhana yang paling murah seperti apa, persyaratannya apa. Dan mereka pun juga akan paham mengenai validasi, titik-titik apa sih yang menjadi critical di UMKM yang harus di control. Yang harus di cek biar tidak terjadi kerusakan makanan,” jelas Dimyati Yusuf kepada VOA.
Sudah 13 tahun terakhir ini, Iswandi Jarto bekerja sebagai manajer teknik penelitian di bidang teknologi pangan untuk perusahaan Hilmar Cheese Company di Hilmar, California. Setiap harinya, perusahaan Iswandi mengambil sekitar 7 juta liter susu, untuk memproduksi ‘sekitar 700 ribu kilogram keju dan 50 ton protein whey (red. air sisa produksi kerju) setiap harinya.
Selain membantu pengembangan produk baru, Iswandi juga mempelajari berbagai teknologi dan teknik terkini dalam proses pembuatan makanan, yang dapat membuat pekerjaan menjadi lebih efisien.
“Di teknik pangan itu kita belajar untuk mengerti sebenarnya makanan itu apa, mekanistik untuk membuat makanan itu apa, bagaimana bisa bikin makanan itu functional, kalau kita bilang functional itu, punya rasa, punya tekstur, punya atribut yang membuat manusia itu mau makan gitu. Tapi juga gimana cara mikirnya untuk tetap bisa nutritious, dan sehat buat kita orang yang makan gitu,” ujarnya.
Tak terpikir sebelumnya oleh Iswandi untuk menekuni dunia teknologi pangan di Amerika. Setelah lulus S1 jurusan teknik kimia dari universitas Wisconsin di Madison, Wisconsin, AS, ia ingin mencari bidang yang lebih konkret dan mulai tertarik dengan ilmu pangan. Iswandi lalu memutuskan untuk melanjutkan studi S2 jurusan ilmu dan teknik pangan di universitas yang sama.
Menurut Iswandi hubungan antara pangan dan manusia sangat personal. Apa pun yang masuk ke dalam tubuh, sangat penting untuk diketahui. Inilah yang membuatnya mantap untuk terjun lebih dalam ke bidang ini.
“Misalnya di tempat saya kerja kan salah satu moto dari kita itu kan kita mau jadi industri nomor satu yang bisa juga membantu orang, bukan cuman makan makanan kosong, tapi makanan itu harus bisa nutritious,” katanya.
Dengan kemajuan teknologi, tantangan yang dihadapi oleh profesional di bidang ilmu pangan seperti dirinya adalah mencari cara untuk bisa terus beradaptasi dengan teknologi yang baru.
“Misalnya sekarang banyak sekali pakai (protein non-hewani). Jadi basically bikin protein seperti susu atau daging, tapi nggak pakai hewan, tapi lewat fermentasi. Saya rasa itu kayak (tantangan),” jelasnya.
Pekerjaan Teknologi Pangan Beragam
Data terbaru dari biro statistik menunjukkan bahwa pekerjaan sebagai ahli pertanian dan pangan diproyeksikan mengalami pertumbuhan 9 persen pada tahun 2020 hingga 2030. Jumlah lowongan pekerjaan yang ditawarkan di bidang ini setiap tahunnya diproyeksikan mencapai sekitar 4.400.
Pekerjaan yang berhubungan dengan teknologi pangan memang cukup beragam. Namun, masih banyak orang yang kurang paham mengenai bidang ini. Seperti dikatakan oleh Zenia Adiwijaya, diaspora Indonesia yang menggeluti teknologi pangan di Amerika dan memiliki latar belakang pendidikan S2 jurusan sistem desain dan manajemen di Massachussetts Institute of Technology atau MIT di Massachusetts.
“Jujur aja waktu aku ngambil food science, waktu aku balik ke Indo, (keluargaku) masih yang kayak ‘kamu tuh mau jadi apa? Mau jadi chef?’ Gitu kan ya, terus kayak oh bukan, (ilmu pangan) beda sama chef,” katanya.
Pada kenyataannya, sebagai ahli di bidang teknologi pangan, memang tidak ada tuntutan untuk bisa memasak.
“Sama sekali enggak. Jadi aku kerja di perusahaan yang terakhir namanya Addition Nutrition tuh (menarik) banget sih, dia kayak (membuat produk bernama) RUSF, Ready to Use Therapeutic Food. Jadi itu kayak (paket makanan berprotein tinggi) buat anak-anak (yang kurang gizi). Dan di situ mereka mempekerjakan ahli ilmu pangan dan mereka (mempekerjakan) dari culinary school,” katanya.
Bersama MIT, Zenia mengembangkan sebuah proyek bernama Nutriolab, dimana ia berperan sebagai konsultan pangan bagi pelaku bisnis makanan di Indonesia.
“Waktu itu memang vision-nya lebih kayak ke arah ngebantuin small enterprises di Indonesia kayak orang-orang yang mau bikin food businesses. Gimana sih caranya mereka juga dapat (sumber yang kredibel mengenai ilmu pangan) gitu buat mereka (mengembangkan produk),” ujarnya.
Kepada teman-teman yang ingin menekuni bidang teknologi pangan, Zenia berpesan untuk mempelajari berbagai jalur karirnya.
“Ilmu pangan itu beneran luas banget, bisa jadi (pengembang nutrisi), bisa jadi (pendiri perusahaan rintisan), atau kayak banyak banget potensi yang bisa dilakukan dari sisi (ilmu pangan),” kata Zenia.
Tak lupa Zenia juga berpesan untuk terus mencari tahu lebih lanjut bidang pekerjaan yang ingin ditekuni dan cita-cita yang ingin dituju. [di/ab/dw]