Bulan September diperingati sebagai bulan Alzheimer sedunia. Ini merupakan kampanye global untuk meningkatkan kesadaran masyarakat Alzheimer, juga membantu melawan stigma dan salah informasi mengenai demensia, yang adalah kumpulan berbagai gejala gangguan otak, termasuk Alzheimer.WASHINGTON, DC (VOA) —
Diaspora Indonesia, Debora Nainggolan di San Jose, California masih ingat ketika sang ibu yang menderita Alzheimer mulai tidak mengenalinya pada tahun 2015.
“(Hidup) berantakan. Hubungan kakak sama adik bercerai-berai. Aku sempat sedih gitu ya, patah hati Mama Alzheimer dan dia tidak bisa mengenali saya.”
Debora mengaku ‘kecolongan,’ karena kurangnya pemahaman di antara keluarga akan demensia dan Alzheimer yang sebenarnya sudah terlihat pada ibunya sejak tahun 2011.
Penyakit Alzheimer yang belum ada obatnya ini memang secara perlahan tidak hanya menyebabkan penurunan daya ingat, namun juga kemampuan berbicara, serta perubahan perilaku.
“Alzheimer itu memang seperti menghancurkan keluarga. Ibaratnya seperti ibu saya. Dia itu seperti pilar dalam keluarga,” ujar Debora.
Mama, Sosok Perempuan Perkasa
“Mama dulu itu adalah perempuan yang buat saya perkasa sekali,” kenang Debora.
Walau hanya lulusan SMA, sosok Mama yang bernama, L S Veronica Sinaga adalah pencari nafkah utama dalam keluarga dan ibu dari 6 anak. Pada waktu itu sang ayah yang adalah lulusan sarjana hukum bekerja sebagai kontraktor.
“Kita tuh sempat punya MetroMini banyak banget. Di rumah aku enggak ingat (ada) 12 apa 15,” tambah perempuan yang sudah berdomisili di AS sejak Mei 2003 lalu ini.
Disamping itu keluarganya memiliki beberapa properti, termasuk 5 rumah dan tanah. Debora mengakui insting bisnis ibunya yang tajam walau tidak pernah sekolah bisnis.
“Saya pikir waktu Mama sakit itu kita semua jadi kayak kehilangan sosok pemimpin sebenarnya,” kata Debora.
Terperangkap Dalam Kesedihan
Selama tiga tahun Debora terperangkap dalam kesedihan. Sosok Mama yang dulu sangat independen, kini harus bergantung kepada orang lain untuk mencari sikat gigi atau bajunya.
“Dia enggak mengenali rumahnya. Sering bilang minta pulang. Terus dia enggak mengenali anaknya ada berapa,” cerita Debora.
Puncak kesedihannya terjadi tahun 2020 lalu di hari ulang tahun Debora. Pada waktu itu Debora meminta ibunya untuk berdoa.
“Di akhir berdoa dia memanggil saya dengan nama adiknya yang sudah meninggal 7 tahun lalu. Itu tuh saya patah banget. Saya keluar ke jalan gitu, nyetir mobil, nangis-nangis di pinggir jalan sampai dikira polisi saya mau bunuh diri,” kata Debora.
Bangkit dan Menerima
Berusaha bangkit dari kesedihannya, Debora pun berusaha menerima kondisi ibunya, dan memperkaya diri dengan pengetahuan tentang Alzheimer, dengan membaca buku, juga melalui berbagai organisasi, seperti Alzheimer Society dan Alzheimer Indonesia atau ALZI cabang San Francisco.
Debora pun mengubah pola pikirnya dan bukan mengubah pikiran ibunya. Ia bertekad memberikan kasih sayang dan cinta yang dulu ia terima dari ibunya. Walau kini sang ibu sudah tidak bisa mengenalinya, Debora percaya jejak dirinya masih menempel di dalam hati sang ibu. Sesuai moto dari organisasi Alzherimer Society yang mengatakan, “I will remember for you,” atau “Saya akan mengingat untuk kamu.”
“Buat saya ibu saya sudah cukup mengingat saya. Ibu saya sudah cukup mengenali saya,” katanya.
“Kadang orang kalau sudah dalam situasi seperti ini suka seperti mau menyenangkan diri sendiri atau menipu diri sendiri, dengan mengatakan, ‘Semoga ini bisa disembuhkan. Ini bisa sembuh.’ Enggak ada. Kita harus terima itu dengan hati yang gembira,” tegasnya.
Terpisah Jarak dan Waktu
Berbagai tantangan Debora rasakan saat berkomunikasi dengan sang ibu yang berusia 79 tahun. Terlebih lagi ketika harus melakukannya secara jarak jauh melalui telpon atau panggilan video, mengingat ibunya tinggal di Indonesia.
“Maunya kan kita kalau ngobrol sambil pegang tangannya dia untuk ambil perhatiannya dia. Kalau lagi ditelepon tiba-tiba dia jalan bolak-balik, dapur, ruang tengah,” kata Debora.
Debora mengaku sulit untuk menemukan bahan pembicaraan yang bisa menarik perhatian ibunya.
“Kadang Mama bright moment ya, moodnya bagus, ya seringnya sih ini ya kayak moody gitu, susah diajak ngobrol,” jelas Debora.
“Mungkin juga karena kita menggunakan handphone ya, untuk lansia seperti Mama, masih yang agak sulit,” tambahnya lagi.
“Senangnya Saat Kita Berdua”
Walah terpisah jarak dan waktu, Debora yang berprofesi sebagai guru piano, sekaligus terapis musik di klinik setempat, menemukan cara yang jitu untuk berkomunikasi dengan sang Ibu, yaitu melalui musik.
“Jadi aku menggunakan media musik, untuk nyambung sama dia. Dan biasanya itu nyambung. Kalau aku udah, ‘ayo Mama nyanyi. Nanti, kita nyanyi ini ya.’ Aku pancing-pancing dulu. Misalnya aku nyanyi sama dia, baru nanti kalau dia udah ikut nimbrung, nah, langsung aku (bilang), ‘main piano dulu ya.’ Nanti kalau udah main piano, (Mama) connect tuh,” cerita Debora.
Memang dulu ibu Debora sangat aktif menyanyi di gereja. Perubahan suasana hati sang ibu saat bernyanyi dan mendengarkan musik membuat Debora terharu. Masih ingat dalam ingatannya pada waktu itu, ketika ia memainkan lagu bahasa Batak, berjudul “Nasonang Do Hita Nadua,” yang memiliki arti, “Senangnya saat kita berdua.” Lagu tersebut berhasil menaruh senyum di wajah ibunya.
“Terharu. Jadi musik itu kayak (mengantar) pesan ya,” ujar Debora.
“Pas masuk udah bagian ke tengah, ikut nyanyi loh dia,” tambahnya.
Bagi Debora, bulan Alzheimer ini bagaikan penyemangat untuk bisa terus merawat ibunya.
“Tahun ini tuh kayak istimewa ya. Istimewanya karena apa, di sini kesadaran dan pemahaman saya dan juga ada kakak saya gitu, kita tuh jadi, ‘Mama nih udah Alzheimer ya, kita harus melakukan ini.’ Tadinya kita sedih, sekarang kita jadi yang switch mindset ya, kita enggak bisa sedih terus-terusan.”
Merawat Penderita Alzheimer Lewat Yoga
Jika Debora Nainggolan menggunakan musik untuk merawat ibunya yang terkena Alzheimer, diaspora Indonesia, Vitri Rachmadiyanto mengajar yoga untuk menjaga kesehatan para lansia, khususnya para penderita Alzheimer di Aurora, Illinois.
Saat diminta untuk mengajar di tempat penitipan orang dewasa dengan sindrom down, penderita parkinson dan orang yang mengalami kepikunan, termasuk demensia Alzheimer, dirinya menolak untuk dibayar dan memilih menjadi sukarelawan.
“Saya bilang, karena mereka kebalikan saya. Pada saat ini saya dikasih kekuatan mengingat. Ingatan saya sangat kuat yang beberapa hal yang mestinya saya lupakan malah jadi keingat terus dan jadi trauma. Sementara orang-orang ini (adalah) orang-orang yang pengin mengingat tapi enggak bisa ingat,” ujar Vitri yang sudah bekerja di tempat penitipan ini hampir dua tahun lamanya.
Sebagian besar kegiatan yang berlangsung di tempat Vitri bekerja dilakukan dalam posisi duduk, mengingat banyak yang mengalami kesulitan untuk berdiri. Disinilah peran penting Vitri dibutuhkan.
“Karena mereka sering duduk, perlunya yoga untuk stretching badannya mereka supaya enggak kaku. Karena kalau pikirannya mereka aja udah susah, dengan badan, fisik yang enggak lentur, bisa sakit-sakitan, mereka akan lebih enggak comfortable lagi dengan kondisi badannya dia, dan mengakibatkan, mereka gampang marah, gampang emosi,” jelas Vitri kepada VOA.
Tantangan terbesarnya menurut Vitri adalah menjaga suasana hati mereka yang kerap berubah-ubah. Ia pun harus pintar merayu.
“Kadang-kadang mereka kesal ya. Kita juga kesal kan kalau umpamanya lagi pengin nyari kunci gitu. Kok enggak ketemu sih? Ya mereka juga sama. Mereka enggak tahu kenapa mereka ada di center itu. Pernah satu kali, lagi mengajar, salah satu pasiennya bilang, saya nih ngapain sih ada di sini? And why do I have to follow whatever you told me to do? I’m healthy, kok. Jadi susah. Akhirnya marahnya dia mengganggu pasien yang lain. Kadang-kadang bisa baik dengan cara dirayu.”
Bagi Vitri, bulan Alzheimer kali ini menjadi pengingat untuk selalu mensyukuri kesehatan diri.
“Kita harus menghargai yang kita punya, dengan berbagai cara. Yoga is not the only way, ada yang senang zumba, ada yang senang lari, apa pun itu kalau bisa aktif, aktif. Dia bisa menyerang dimana saja, kapan saja.”
Organisasi Alzheimer Indonesia di San Francisco
Sejak tahun 2019, organisasi Alzheimer Indonesia atau ALZI cabang San Francisco berdiri di AS. Ini adalah bagian dari ALZI di Indonesia. Organisasi ini memiliki 16 cabang yang tersebar di berbagai penjuru Indonesia dan total 5 cabang di luar negeri.
“ALZI San Francisco membantu Alzheimer Indonesia, terutama komunitas Indonesia yang berada di Amerika, khususnya di San Francisco. Jadi yang tinggal sementara di sini dan mulai ada gejala-gejala atau orang tuanya yang di Indonesia ada gejala-gejala jadi kami bisa membantu menghubungkan keluarga yang berminat dengan ahli-ahli di Indonesia,” jelas ketua ALZI San Francisco, Ake Pangestuti kepada VOA.
Sesuai dengan tujuan dari ALZI Indonesia yaitu “meningkatkan kualitas hidup orang dengan demensia dan keluarganya,” ALZI San Francisco kerap membantu diaspora Indonesia seperti Debora atau bekerja sama dengan Vitri untuk melangsungkan kegiatan. Tahun ini, ALZI San Francisco mengadakan berbagai kegiatan spesial terkait bulan Alzheimer sedunia.
“Kegiatan dengan lansia, sebagai kegiatan preventif, merangkai bunga taman, karena kan kalau lansia dan orang dengan demensia kalau punya hobi, hobinya masih berlanjut ya. Bisa menjadi terapi juga. Dan juga memasak menu sehat untuk otak. Jadi kegiatan kami sebagian besar kegiatan bermakna untuk menurunkan risiko terkena demensia Alzheimer,” jelas Ake Pangestuti.
Tema bulan Alzheimer sedunia tahun ini adalah “Kenali Demensia, Kenali Alzheimer.” Ake menambahkan sangat penting untuk bisa melakukan “deteksi dini juga kenali demensia dari sekarang.”
Sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan bulan Alzheimer sedunia tahun ini, Ake yang hobi lari mengikuti lomba lari sebagai bagian dari ajang San Francisco Marathon dan mendedikasikannya untuk bulan Alzheimer ini.
Ake sendiri memiliki pengalaman pribadi yang menjadi penyemangat dirinya untuk ikut meningkatkan kesadaran masyarakat akan Alzheimer dan demensia.
“Ayah saya waktu itu kena kanker paru-paru. Tapi mungkin saat itu sudah terkena bagian otaknya. Jadi juga memperlihatkan gejala-gejala seperti orang terkena Alzheimer,” kenangnya.
“Saya bayangkan gimana teman-teman yang 24 jam tinggal bersama orang dengan demensia. Jadi itu yang mendorong saya,” tambah Ake.
Tak lupa Ake berpesan untuk selalu hidup aktif dan bahagia.
“Kalau kita sehat, keluarga kita juga sehat, dan juga untuk teman-teman caregiver yang keluarganya ada ODD (red.Orang Dengan Demensia), semoga tetap semangat dan juga saling mendukung, you are not alone.”
Data terakhir dari organisasi Alzheimer’s Disease International menunjukkan terdapat lebih dari 55 juta orang yang hidup dengan demensia di seluruh dunia tahun 2020 lalu. Angka ini dikatakan akan terus meningkat, mencapai 78 juta pada tahun 2030 dan 139 juta pada tahun 2050. [di/ka]