Dalam laporan yang dikeluarkan perusahaan konsinyasi online raksasa ThredUp dan perusahaan analitik Global Data bulan Agustus 2022 lalu, diketahui bahwa pertumbuhan usaha barang bekas diperkirakan akan berlipat ganda pada tahun 2026, atau mencapai $82 miliar per tahun.
WASHINGTON, DC (VOA) — Minat belanja barang bekas atau seringkali disebut thrifting, meningkat di Amerika. Salah satu penyebab utamanya adalah perilaku belanja dari generasi milenial dan generasi Z.
Hasil survei yang dikeluarkan ThreadUp atas 3.500 koresponden warga Amerika yang di atas 18 tahun menunjukan 62% dari generasi milenial dan generasi Z akan melihat pasar barang bekas terlebih dahulu sebelum mencari yang baru.
“Saya suka belanja di thrift store, karena lebih bagus buat environment, tidak support fast fashion, big fashion chain yang suka mubazir dengan baju yang mereka produced,” kata Nadia Al-Arif, seorang diaspora Indonesia di negara bagian Maryland yang masuk ke dalam kategori generasi Z kepada VOA.
“Kita dengan beli dari thrift store kita juga tidak mendukung big chain yang pollute our environment, yang mungkin underpaid their worker. Kalo beli di thrif store menurut aku lebih ethical aja sih”, tambahnya.
Diaspora Indonesia lainnya, Zaid Najmudin yang berusia 24 tahun dan saat ini bekerja di Washington DC juga bangga bisa ikut serta dalam upaya melestarikan lingkungan.
“Kita mendaur ulang pakaian. Bisa donasi dan donasi itu bisa dibeli orang lagi dan digunakan lagi. Ngga dibuang jadi sebuah sampah di dunia ini. Juga mengalahkan fast fashion, yang memproduksi terus setiap tahunnya pakaian-pakaian baru dan orang hanya pakai sekali dan beli lagi beli lagi. Itu namanya fast fashion. Jadi mengurangi waste dengan melakukan thrifting,” kata Zaid.
Salah satu jaringan toko yang menjual barang bekas di Amerika adalah Goodwill. Hampir semua barang yang dijual di sini adalah barang bekas pakai dan seluruhnya merupakan sumbangan dari warga. Sebagian dari hasil penjualan disalurkan untuk pengembangan komunitas setempat seperti program pelatihan kerja.
Carolyn Becker, Senior Manager of Communication dari Goodwill mengatakan, gabungan dari harga dan pengaruh sosial media turut berperan dalam meningkatkan trend belanja barang bekas di kalangan anak muda.
“(Ketika) Anda datang ke Goodwill, Anda bisa mendapatkan mantel bermerek desainer terkenal dengan harga di bawah 20 dolar AS dan itu luar biasa terutama bagi generasi muda yang memilik dana yang terbatas,” kata Carolyn kepada VOA.
“Seperti menggali harta karun yang Anda sukai, ‘Oh, saya melihat (barang ini) di TikTok dengan harga setengah atau seperempat dari harga baru. Kalau semua orang dapat ikut merasakan ketika Anda merasakan sensasi kegembiraan, teman-teman dan anggota keluarga jadi ingin (melakukan hal yang sama seperti Anda),” lanjutnya.
Raka Adam, seorang diaspora Indonesia yang bekerja sebagai Retail Team Leader di Goodwill mengatakan, kembalinya gaya fashion di masa lalu, juga menjadi alasan bagi para remaja untuk datang ke thrift store.
“Anak-anak SMA mereka datang, banyak yang sering nyari-nyari barang, baju segala macam apalagi trend style tahun 2000-an itu udah mulai naik jadi mereka sering datang ke sini nyari-nyari baju itu,” kata Raka.
Jika berhubungan dengan gaya, Zaid Najmudin menambahkan manfaat lain dari thrifting yang ia rasakan.
“Dengan thrifting, kemungkinan orang lain punya (barang yang kita beli) juga lebih sedikit lagi,” ujar Zaid.
Menurut survei yang dilakukan ThredUP dan GlobalData, 46% dari Milenial dan Gen Z juga mempertimbangkan potensi nilai jual kembali suatu barang sebelum mereka membelinya. [ii/em]