Belum lama ini warga Indonesia, Mayzura “Maura” Restalia Munaf yang tinggal di Boston, Massachusets, berhasil mendapat penghargaan Silver atas karya desain poster yang ia garap bersama rekannya. Poster bertema protes ini mengangkat isu tuna wisma yang hidup di jalanan kota Amerika Serikat.
WASHINGTON, DC (VOA) — Tergerak untuk membuka ruang diskusi dan mengangkat isu tuna wisma, Mayzura Restalia “Maura” Munaf yang berprofesi sebagai copywriter atau penulis iklan dan materi publisitas di Amerika Serikat, memutuskan untuk mengikuti kompetisi global membuat poster dalam bentuk protes yang menyuarakan isi hatinya.
Kompetisi ini diselenggarakan oleh majalah Graphis, sebuah publikasi yang menampilkan berbagai talenta dan hasil kreasi para pekerja kreatif dari seluruh dunia di bidang desain, periklanan, fotografi, dan ilustrasi seni.
Menggandeng rekannya, Allie Phelan yang adalah seorang art director, keduanya memilih kategori protes yang berisi komentar sosial, dengan tema tuna wisma di Amerika Serikat.
“Di Amerika itu isu tuna wisma sangat-sangat besar. Mungkin di Boston enggak sebesar di New York, tetapi di Philadelphia, (di tempat Allie tinggal), dia sangat meihat dimana-mana banyak banget orang tuna wisma,” jelas Maura kepada VOA Indonesia belum lama ini.
Poster yang diberi judul “Affordable, but Unlivable” atau “terjangkau, tapi tak layak untuk dihuni” tersebut menggambarkan kardus bekas yang diberi harga nol dolar AS.
Walau tak layak, kardus bekas berbagai perabot rumah tangga yang dibuang ke tempat sampah, kembali menjadi berharga bagi para tuna wisma yang membutuhkan alas tidur atau bahkan atap yang melindungi mereka di jalanan.
“Kita mikir gitu pada waktu yang sama banyak banget iklan-iklan furnitur, barang-barang rumah yang ada. Dan banyak juga produksi furnitur dan barang-barang untuk rumah. Kita mikir bagaimana kita bisa membawa atau meningkatkan kesadaran terhadap masalah ini,” tambah perempuan berusia 23 tahun ini.
Selama menggarap poster parodi iklan yang mencolek ini, Maura dan Allie sempat berdiskusi bagaimana menyulap kardus menjadi ‘perabot’ yang seringkali digunakan oleh para tuna wisma untuk bertahan hidup di jalanan.
“Seperti tempat tidur, kursi, bantal. (Kita) mencoba membuat furnitur (dari kardus) dan menggambarkannya seperti iklan yang minimalis,” jelas Allie Phelan kepada VOA.
Sejak kuliah Maura mengaku sering mengamati dan berpapasan dengan tuna wisma yang menggunakan berbagai barang-barang yang digunakan oleh tuna wisma untuk tujuan yang berbeda. Seperti kereta dorong supermarket yang digunakan para tuna wisma untuk menaruh barang-barang mereka dan berpindah tempat tinggal, juga keranjang-keranjang plastik yang biasa mereka gunakan sebagai tempat duduk.
“(Barang-barang ini) sudah menjadi simbol untuk gaya hidup orang-orang tuna wisma. Dan simbol-simbol ini sudah menjadi simbol yang powerful semenjak masalah tuna wisma ini sudah meningkat,” jelas Maura.
Ibu Maura, Luki Ariani, mengaku senang ketika mengetahui isu yang diangkat oleh Maura ke dalam poster ini.
“Saya sangat senang sekali ya dia bisa mengangkat isu ini sehingga bisa membuat banyak orang menjadi lebih melihat keadaan ini, karena memang intinya sih buat saya, anak-anak itu yang utama adalah berbuat kebaikan. Nah, ini adalah salah satu cara dia untuk berbuat kebaikan melalui kreatifitasnya dia,” kata Luki Ariani saat dihubungi VOA.
Tak disangka dari ratusan poster yang masuk dari seluruh dunia, karya Maura dan Allie ini berhasil memenangkan penghargaan Silver dari majalah Graphis. Poster ini nantinya akan dipajang di majalah Graphis yang dirilis tahun 2022.
Kemenangannya ini mendapat perhatian dan pujian warganet di LinkedIn yang bergerak di bidang kreatif, saat Maura mengunggah posternya.
“Saya dan Allie berharap ini bisa meningkatkan awareness bukan hanya di dunia sehari-hari tapi juga di dunia kreatif, bagaimana kita bisa semakin sadar dan semakin ingin untuk mengubah dunia hanya dari advertising,” tambah adik dari penyanyi Sherina Munaf ini.
Lulus Summa Cum Laude di AS
Kecintaan Maura dalam menulis sebenarnya sudah tumbuh sejak kecil. Setelah lulus SMA tahun 2016, ia memutuskan untuk menunda kuliah dan mencari kesempatan magang di stasiun radio anak muda, juga di dunia jurnalistik sebagai penulis. Salah satu tugasnya pada waktu itu adalah menjadi penulis resensi film.
“Aku nulis film review untuk Resident Evil, sama Mel Gibson, Hackshaw Ridge.” Dua film itu aku dikirim, masih kecil gitu ke bioskop. Sebelahnya ada wartawan-wartawan yang mungkin udah kayak dua kali lipat umur aku ya,” kenang lulusan Binus International School ini.
“(Waktu) pulang aku nulis, panjang banget tulisannya. (Waktu) manager aku lihat, dia bilang kamu cocok nulis kayak gini, kamu cocok nulis hal-hal yang bercerita. Dan lagi pula ini tentang film kan, film itu selalu ada di balik kepala aku dan selalu passion aku gitu. Nonton, juga diskusi dan komentar,” tambahnya.
Tahun 2017, Maura mengejar mimpinya untuk kuliah di Amerika Serikat, tepatnya di Boston University, di Boston, Massachusets, AS, dimana ia mengambil jurusan film dan televisi.
Boston University adalah salah satu universitas swasta tertua di kota Boston yang telah melahirkan tokoh-tokoh terkenal seperti mendiang aktivis HAM Dr. Martin Luther King, Jr., politikus sekaligus aktivis AS, Alexandria Ocasio-Cortez, aktris Geena Davis dan Julianne Moore, dan masih banyak lagi.
Tahun 2018, Maura sempat pulang ke Indonesia dan magang di perusahaan periklanan sebagai copywriter. Ia pun mulai jatuh cinta dengan dunia itu dan memutuskan untuk juga mengambil jurusan periklanan di Boston University.
Di tengah kesibukan kuliahnya dan berbagai kegiatan organisasi yang ia ikuti, Maura tetap giat mencari kesempatan magang untuk mendapatkan pengalaman dan meningkatkan ilmunya.
“Aku pikir, aku di Amerika. Perusahaan-perusahaan, kantor, dan talenta yang kita mungkin enggak bisa akses di ruang kelas, di sekolah, kenapa enggak ambil opportunity yang lebih besar dengan magang atau mungkin networking dengan orang-orang di luar environment sekolah?” ucap penggemar yoga ini.
Sebagai mahasiswa internasional, Maura sempat merasa ragu akan kemampuannya saat mencari kesempatan magang. Apalagi ketika harus bersaing dengan mahasiswa lokal.
Tetapi, Maura tidak pantang menyerah. Menurutnya, kuncinya hanya satu, yaitu kejujuran. Itulah yang selalu ia tanamkan pada dirinya saat mencari kesempatan magang.
“Jujur dengan employer kita, situasi kita, dan bilang ke mereka kalau saya enggak mau ngerepotin kalian, tapi saya suka banget sama perusahaan kalian. Kalau saya bisa mendapat dukungan, bagus, kalau saya enggak bisa, it’s okay, too,” kata si bungsu dari tiga bersaudara ini.
Tahun 2019, akhirnya ia diterima magang di perusahaan Windy Films yang memproduksi film dan berbagai media audio visual gerak, dimana ia berperan sebagai seorang visualis.
“Mungkin yang mereka lihat di kandidat, mau mereka internasional mau mereka nasional apa pun itu, adalah passion sama ambition. Karena passion dan ambitionitu enggak diskriminasi gitu. Enggak akan mengubah (oertimbangan) mereka untuk mau atau enggak mau hire kita,” jelas penggemar film horor ini.
Bersama tim, Maura bekerja dengan klien-klien besar seperti produsen alat olah raga, Peloton, perusahaan asuransi, AETNA, dan organisasi nirlaba, Planned Parenthood di Amerika.
“Kayak bikin mood board. Bikin pitch deck kalau mau presentasi ke klien,” jelas Maura.
“Jadi aku bantu mereka nge-visualisasi, bagaimana nanti karyanya pas tampil. Itu seru banget,” tambahnya.
Ingin mengejar passion atau kecintaannya dalam menulis, tahun 2020 ia mengikuti program ‘bootcamp’ 10 minggu yang diselenggarakan perusahaan kreatif Sid Lee, untuk menjadi seorang copywriter.
Selama kuliah di Amerika Serikat, Maura selalu berusaha yang terbaik di ruang kelas dan juga di luar kelas. Usaha dan kerja keras Maura semasa kuliah ternyata membuahkan hasil. Ia lulus dengan predikat kehormatan tertinggi, Summa Cum Laude dari Boston University.
Bagi Maura, nilai yang bagus bukanlah segalanya. Yang terpenting adalah bagaimana ia bisa memanfaatkan ilmu yang ia raih.
“Aku tuh selalu memastikan kalau aku (memberikan) 100 persen ke segala hal,” ujar Maura.
“Mungkin kehidupan sosial aku enggak sesibuk kehidupan kerja dan sekolah aku. Tapi menurut aku itu worth it,” tambahnya lagi.
Luki Ariani pun melihat puterinya sebagai sosok yang mandiri dan pantang menyerah.
“Dulu dia ikut bela diri wushu. Di situ saya bisa melihat dia itu anaknya pantang menyerah dan mau belajar. Padahal saat itu ada ujian fisik yang memang sebetulnya cukup berat. Tapi mungkin di situ dia justru bisa belajar banyak dan itulah yang membuat dia sekarang mungkin mempunyai kemauan yang kuat untuk pantang menyerah,” paparnya.
Jadi Copywriter di AS
Sebagai lulusan internasional, Maura mendapat kesempatan bekerja selama satu tahun di Amerika Serikat, melalui program Optional Practical Training atau OPT. Ia lalu mendapat pekerjaan di perusahaan periklanan dan marketing di bidang kesehatan, Digitas Health, sebagai copywriter.
Di Digitas Health inilah ia bertemu dengan Allie Phelan, yang berprofesi sebagai art director. Menurut Allie, Maura adalah rekan kerja yang sangat baik, teliti dan kreatif.
“(Maura) sangat detail. Punya kemampuan itu dalam diri seorang penuli yang bekerja di bidang berorientasi pada detail, dan memiliki (kemampuan itu) dalam diri seorang penulis, khususnya yang bekerja di indutri farmasi sangat penting,” kata Allie Phelan.
Namun, ternyata bekerja di bidang kesehatan bukanlah yang Maura inginkan.
“Tapi aku lumayan cepat belajar kalauadvertising di bidang kesehatan itu bukan passion aku, karena lumayan restrictive. Lumayan enggak banyak area untuk kreatifnya, karena banyak peraturannya,” cerita Maura.
Kini, Maura bekerja sebagai copyrwriter di bidang periklanan untuk dua perusahaan, yaitu Digitas dan Groupe Connect, dimana ia memegang beberapa klien besar seperti Lenovo dan Bank of America.
Sebagai copywriter, tak jarang ia mengalami tantangan ‘writer’s block’ yang membuat pikirannya buntu.
“Nulis apa ya? Dan udah duduk di depan komputer kayak 3 jam, tapi enggak keluar apa-apa,” ujarnya.
Untuk mengatasinya, Maura memilih untuk meninggalkan komputer dan melakukan kegiatan lain. Salah satunya meneliti bidang yang sedang ia tulis lebih dalam lagi.
“Kita enggak perlu nulis dan kreasi untuk selalu produktif. Kita juga bisa kepo melihat karya-karya lain atau research tentang bidang itu dan itu juga masuk ke otak kan. Menurut aku kalau kita lebih realistik dan lebih simpati dengan diri sendiri, pada ujungnya akan lebih produktif,” katanya.
“Menjadi Orang Yang Lebih Baik”
Di umurnya yang ke-23 tahun, Maura memang sudah sering berpindah bidang. Hingga kini, ia sudah pernah mendalami dunia tari, wushu, jurnalistik, film, dan periklanan. Menurutnya, ini adalah caranya untuk bereksperimen dan berkembang.
“Sebetulnya semua anak-anak saya upayakan untuk mengikuti berbagai macam kegiatan. Walau pun mungkin saat itu mereka belum tahu apakah kegiatan itu nanti akan menjadi goal akhirnya, tapi saya perkenalkan dengan berbagai macam,” cerita Luki Ariani.
Maura pun sangat berterima kasih kepada orang tuanya yang selalu mendukung jalan hidupnya.
“Mereka sangat (terbuka) dengan perjuangan aku dan jalan hidup aku dalam mencari passion aku itu apa. Yang penting (berhenti di bidang tertentu) itu bukan semacam selesai gitu, tapi lebih ke redirection di karir aku,” jelasnya.
Maura mengatakan tidak perlu tertekan “untuk menjalani satu jalur hidup.” Ia pun selalu menerima jika ada kesalahan yang ia lakukan.
“Yang penting kita mengambil pelajaran dari itu, ya kan? Supaya kita bisa berubah dan (berkembang) untuk menjadi orang yang lebih baik. Terus, kejar apa pun yang bikin kamu paling senang,” ujarnya.
Menurut Maura, mimpi orang bisa berubah-ubah. Baginya yang terpenting adalah melakukan apa yang membuatnya bahagia dan fokus di titiknya saat ini. Tak lupa ia berpesan untuk selalu berempati.
“Empati dengan diri sendiri di masa depan, tapi empati juga dengan diri sendiri di masa lalu. Itu yang bikin aku selalu maju,” pungkasnya. [di/dw]